SUPOSITORIA
Supositoria
adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo,dapat
melunak, melunak atau meleleh pada suhu tubuh (FI ed 3). Menurut FI edisi IV,
supositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bentuk dan bobot, yang
diberikan melalui rektum, vagina, dan uretra ; umumnya meleleh, melunak, atau
melarut pada suhu tubuh. Supositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan
setempat dan sebagai pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal taupun
sistemik.
Penggunaan supositoria pada umumnya adalah
dengan cara dimasukkan melalui rectum, vagina, kadang-kadang melalui saluran
urin dan jarang sekali digunakan melalui telinga dan hidung. Supositoria untuk
hidung dan telinga disebut juga kerucut
telinga. Pada zaman dahulu, supositoria digunakan untuk pengobatan lokal
dan efek purgative pada bahan dasar sabun.
Bentuk dan ukuran dari supositoria harus sedemikian rupa sehingga dapat
dengan mudah dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa
menimbulkan kejanggalan dan penggelembungan begitu masuk, harus dapat bertahan
untuk waktu tertentu. Supositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari
tangan , tetapi untuk vagina khususnya vaginal
insert/ atau tablet vagina yang diolah dengan cara kompresi dapat
dimasukkan lebih jauh ke dalam saluran vagina dengan bantuan alat khusus.
Di
kalangan umum biasanya supositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1.5 inchi),
berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam . Beberapa supositoria untuk rektum
di antaranya ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari kecil,
tergantung pada bobot jenis bahan obat dan
basis yang digunakan, beratnya pun berbeda- beda. Sebelum abad 18 bahan
dasar Oleum Cacao mulai dikembangkan untuk tujuan sistemik. USP menetapkan
beratnya 2 g unruk orang dewasa bila basis yang digunakan oleum cacao.
Sedangkan supositoria untuk bayi dan anak-anak beratnya ½ dari berat dan ukuran
supositoria orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti pensil.
Macam- macam
supositoria
Macam – macam supositoria
berdasarkan tempat penggunaannya, yaitu :
1. Supositoria
rectal, sering disebut sebagai supositoria saja, berbentuk peluru, digunakan
lewat rektum atau anus. Menurut FI edisi III bobotnya antara 2-3 gram, yaitu
untuk dewasa 3 g dan anak 2 g, sedangkan menurut FI edisi IV kurang lebih 2 g.
Supositoria rektal berbentuk torpedo mempunyai keunggulan, yaitu jika bagian
yang besar masuk melalui jaringan otot penutup dubur, supositoria akan tertarik
masuk dengan sendirinya.
2. Supositoria
vaginal (ovula), berbentuk bola lonjong seperti kerucut, digunakan lewat
vagina, berat antara 3-5 g, menurut FI III 3-6 g, umumnya 5 g.
Supositoria kempa atau supositoria
sisipan adalah supositoria vaginal yang dibuat dengan cara mengempa massa
serbuk menjadi bentuk yang sesuai, atau dengan cara pengkapsulan dalam gelatin
lunak.
Menurut FI IV, supositoria vaginal
dengan bahan dasar yang dapat larut atau dapat bercampur dalam air seperti PEG
atau gelatin tergliserinasi memiliki bobot 5 g. Supositoria dengan bahan dasar gelatin tergliserinasi ( 70 bagian gliserin,
20 bagian gelatin dan 10 bagian air) harus disimpan dalam wadah tertutup rapat,
sebaiknya pada suhu di bawah 35°C.
3. Supositoria
uretra (bacilli, bougies) digunakan
lewat uretra, berbentuk batang dengan panjang antara 7-14 cm. Supositoria
saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun
ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya Oleum
Cacao maka beratnya ± 4 g. Supositoria untuk saluran urin wanita panjang dan
beratnya 2 g, inipun bila Oleum Cacao sebagai basisnya.
Aksi
Lokal
Begitu dimasukkan basis supositoria akan
meleleh, melunak, atau melarut
Menyebarkan bahan obat yang
dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Supositoria rektal
dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling sering digunakan untuk menghilangkan
konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rsa gatal, dan radang sehubungan dengan
wasir atau kondisi anorektal lainnya. Supositoria antiwasir seringkali
mengandung sejumlah zat, termasuk anastesik lokal, vasokonstriktor, astringen,
analgesic, pelunak yang menyejukkan, dan zat pelindung. Supositori laksatif
yang terkenal adalah supositoria gliserin, yang menyebabkan laksasi (mencahar)
karena iritasi lokal dari membrane mukosa. Supositoria vaginal yang dimaksudkan
untuk efek lokal digunakan terutama sebagai antiseptic pada hygiene wanita dan
sebagai zat pencegah penyakit. Sementara supositoria uretral bisa digunakan
sebagai antibakteri dan sebagai sediaan anastesik lokal untuk pengujian
uretral.
Aksi
Sistemik
Untuk mendapatkan efek sistemik, cara pemakaian
melalaui rektum mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan pemakaian oral, yaitu
:
·
Obat yang dirusak
atau dibuat tidak akyif oleh pH atau aktivitas enzim dari lambung atau usus
tidak perlu dibawa atau masuk ke dalam lingkungan yang merusak ini.
·
Obat yang
merangsang lambung dapat diberikan tanpa menimbulkan perangsangan.
·
Obat dapat
langsung masuk ke dalam saluran darah sehingga obat dapat berefek lebih cepat
daripada penggunaan obat per oral.
·
Cara yang efektif
dalam perawatan pasien yang suka muntah.
Obat-obat yang
digunakan melalui rektum dalam bentuk supositoria untuk mendapatkan efek
sistemiknya terdiri antara lain :
1.
Aminofilin dan
Teofilin untuk menghilangkan asma.
2.
Proklorperazin dan
Klorpromazin untuk menghilangkan rasa mual dan muntah, dipakai juga sebagai
obat penenang.
3.
Klorelhidrat
sebagai hipnotik sedative
4.
Oksimorfon
digunakan sebagai analgesic narkotik
5.
Belladonna dan
opium untuk antispasmodic dan analgesic
6.
Ergotamine tertrat
untuk meringankan gejala migraine
7.
Aspirin untuk
aktivitas antipiretik dan analgesic
Tujuan Penggunaan Obat Bentuk Supositoria
1.
Supositoria
dipakai untuk pengobatan lokal, baik di dalam rektum, vagina, atau uretra,
seperti pada penyakit haemoroid/wasir/ambeien, dan infeksi lainnya.
2.
Cara rektal juga
digunakan untuk didistribusi sistemik.
3.
Jika penggunaaan
obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada pasien yang mudah muntah.
4.
Aksi kerja awal
akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalaui mukosa rektum dan
langsung masuk melalaui saluran darah
5.
Agar terhindar
dari perusakan obat oleh enzim
Faktor-faktor
yang mempengaruhi absorbsi Supositoria
1. Faktor Fisiologis
Rektum
mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas dapar rendah. Epitel
rektum sifatnya berlipoid (berlemak) maka diutamakan permeable terhadap obat
yang tiada terionisasi (obat yang mudah larut dalam lemak).
2. Faktor Fisika-Kimia Obat dan Basis
·
Kelarutan
obat : obat yang mudah larut dalam lemak
akan lebih cepat terabsorbsi daripada obat yang larut air. Suatu obat lipofilik
yang terdapat dalam basis supositoria berlemak dengan konsentrasi rendah
memiliki kecenderungan yang kurang untuk melepaskan diri ke dalam cairan di
sekelilingnya, dibandingkan bila ada bahan hidrofilik pada basis berlemak,
dalam batas-batas mendekati titik jenuhnya.
·
Kadar obat
dalam basis : jika kadar obat
makin besar absorbs obat makin cepat.
·
Ukuran
partikel : Ukuran partikel obat akan mempengaruhi
kecepatan larutnya obat ke cairan rektum. Semakin kesil ukuran partikel maka
semakin mudah larut dan lebih besar kemungkinannya untuk cepat diabsorbsi di
tubuh.
·
Basis
Supositoria : basis harus
mampu mencair, melunak, atau melarut supaya melepaskan kandungan obatnya untuk
diabsorbsi. Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan segera
dilepaskan ke cairan rektum. Jika basis dapat segera terlepas setelah masuk ke
dalam rektum ; obat segera diabsorbsi dan aksi kerja awal obat akan segera
muncul. Jika obat larut dalam air dan terdapat dalam basis larut air, aksi
kerja awal obat akan segera muncul jika basis tadi cepat larut dalam air.
Bahan
dasar supositoria
Bahan
dasar supositoria adalah oleum cacao (lemak coklat), gelatin tergliserinasi,
minyak nabati terhidrogenasi, campuran
PEG dengan berbagai bobot molekul, dan ester asam lemak PEG. Bahan dasar lain
seperti surfaktan nonionik dapat digunakan, misalnya ester asam lemak
polioksietilen sorbitan dan polioksietilen stearat.
Bahan dasar supositoria yang ideal harus
mempunyai sifat berikut
1.
Padat pada suhu
kamar sehingga dapat dibentuk dengan tangan atau dicetak, tetapi akan melunak
pada suhu rektum dan dapat bercampur dengan cairan tubuh.
2.
Tidak beracun dan
tidak menimbulkan iritasi.
3.
Dapat bercampur
dengan bermacam-macam obat.
4.
Stabil dalam
penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna, dan bau serta pemisahan obat.
5.
Kadar air
mencukupi.
6.
Untuk basis lemak
maka bilangan asam, bilangan iodium, dan bilangan penyabunan harus diketahui
jelas.
Penggolongan
bahan dasar supositoria
BASIS BERMINYAK ATAU BERLEMAK
. Basis berlemak merupakan basis yang
paling banyak dipakai. Oleum cacao adalah contohnya. Diantara bahan-bahan
berlemak atau berminyak lainnya yang biasa digunakan sebagai basis supositoria;
macam-macam asam lemak yang dihidrogenasi dari minyak nabati seperti minyak
palem dan minyak biji kapas. Juga kumpulan basis berlemak yang mengandung
gabungan gliserin dengan asalam lemak dengan berat molekul tinggi, seperti asam
palmitat dan asam stearat.
BAHAN DASAR YANG LARUT ATAU BERCAMPUR
DALAM AIR. Kumpulan penting dari kelompok ini
adalah gelatin, gliserin, dan basis polietilen glikol.
BAHAN DASAR LAIN. Pembentuk emulsi A/M. Misalnya campuran Tween
61 85% dengan gliserin laurat 15 %.
Supositoria dengan bahan dasar oleum cacao
(lemak coklat)
1.
Merupakan
trigliserida dari asam oleat, asam stearat, asam palmitat; berwarna putih
kekuningan; padat, berbau seperti coklat, dan meleleh pada suhu 31°-34°C.
2.
Karena mudah
berbau tengik, harus disimpan dalam wadah atau tempat sejuk, kering, dan
terlindung dari cahaya.
3.
Oleum cacao dapat
menunjukkan polimorfisme dari bentuk kristalnya pada pemanasan tinggi. Di atas titik leburnya,
oleum cacao akan meleleh sempurna seperti minyak dan akan kehilangan inti
Kristal stabil yang berguna untuk membentuk kristalnya kembali.
Bentuk-bentuk
Kristal oleum cacao tersebut adalah :
a.
Bentuk α (alfa) :
terjadi jika lelehan oleum cacao tadi didinginkan dengan segera pada 0°C dan
bentuk ini memiliki titik lebur 24°C (menurut literature lain 22°C).
b.
Bentuk β (beta) :
terjadi jika lelehan oleum cacao tadi diaduk-aduk pada suhu 18°-23°C dan bentuk
ini memiliki titik lebur 28°-31°C
c.
Bentuk β stabil
(beta stabil) : terjadi akibat perubahan bentuk secara perlahan-lahan disertai
kontraksi volume dan bentuk ini mempunyai titik lebur 34°-35°C (menurut
literature 34,5°C)
d.
Bentuk g (gamma) : terjadi dari pendinginan lelehan
oleum cacao yang sudah dingin (20°C) dan bentuk ini memiliki titik lebur 18°C.
4. Untuk
menghindari bentuk-bentuk Kristal tidak stabil di atas dapat dilakukan dengan
cara:
a.
Oleum cacao tidak
meleleh seluruhnya, cukup dua pertiganya saja yang dilelehkan
b.
Penambahan
sejumlah kecil bentuk Kristal stabil ke dalam lelehan oleum cacao untuk
mempercepat perubahan bentuk tidak stabil menjadi bentuk stabil.
c.
Pembekuan lelehan
selama beberapa jam atau beberapa hari.
5. Lemak
coklat merupakan trigliserida, berwarna kekeuningan, memiliki bau yang khas ,
dan bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk Kristal). Jika dipanaskan, pada
suhu sekitar 30°C akan mulai mencair dan biasanya meleleh sekitar 34°-35°C,
sedangkan pada suhu dibawah 30°C berupa massa semipadat. Jika suhu pemanasannya
tingg, lemak coklat akan mencair sempurna seperti minyak dan akan kehilangan
semua inti Kristal stabil yang berguna untuk memadat.Jika didinginkan di bawah
suhu 15° akan mengkristal dalam bentuk Kristal stabil. Agar mendapatkan
supositoria yang stabil, pemanasan lemak coklat sebaiknoria yang stabil,
pemanasan lemak coklat sebaiknya dilakukan sampai cukup meleleh saja sampai
bisa dituang, sehinnga tetap mengandung inti Kristal dari bentuk stabil.
6. Untuk
menaikkan titik lebur lemak coklat digunakan penambahan cera atau cetaceum
(spermaseti). Penambahan cera flava tidak boleh lebih dari 6% sebab akan
menghasilkan campuran yang mempunyai titik lebur di atas 37°C dan tidak boleh
kurang dari 4% karena akan diperoleh titik lebur di bawah titik leburnya
(<33°C). Jika obat merupakan larutan dalam air, perlu diperhatikan lemak
coklat menyerap sedikit air. Oleh karena itu, penambahan cera flava dapat juga
untuk menaikkan daya serap lemak coklat terhadap air.
7. Untuk
menurunkan titik lebur lemak coklat dapat digunakan tambahan sedikit kloralhidrat
atau fenol, atau minyak atsiri.
8. Lemak
coklat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan cairan tubuh, oleh
karena itu dapat menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada tempat yang
diobati.
9. Lemak
coklat jarang dipakai untuk sediaan vagina karena meninggalkan residu yang
tidak dapat diserap, sedangkan gelatin tergliserinasi jarang dipakai untuk
sediaan rektal karena disolusinya lambat.
10. Supositoria dengan bahan dasar lemak coklat
dapat dibuat dengan mencampurkan bahan obat yang dihaluskan ke dalam minyak
lemak padat pada suhu kamar, dan massa yang dihasilkan dibuat dalam bentuk yang
sesuai atau dibuat dengan cara meleburkan minyak lemak dengan obat kemudian
dibiarkan sampai dingin di dalam cetakan. Supositoria ibi harus disimpan dalam
wadah tertutup baik, pada suhu di bawah 30°C.
11. Pemakaian air sebagai pelarut obat dengan bahan
dasar oleum cacao sebaiknya dihindari karena :
·
Menyebabkan reaksi
antara obat-obat dalam supositoria.
·
Mempercepat
tengiknya oleum cacao
·
Jika air menguap,
obat tersebut akan mengkristal kembali dan dapat keluar dari supositoria.
12. Keburukan oleum cacao sebagai
bahan dasar supositoria.
a.
Meleleh pada udara
panas
b.
Dapat menjadi
tengik pada penyimpanan lama.
c.
Titik leburnya
dapat turun atau naik jika ditambahkan bahan tertentu.
d.
Adanya sifat
polimorfisme.
e.
Sering bocor
selama pemakaian (keluar dari rektum dan meleleh)
f.
Tidak dapat
bercampur dengan cairan sekresi.
Akibat beberapa keburukan oleum
cacao tersebut, dicari pengganti oleum cacao sebagai bahan dasar supositoria, yaitu ;
1.
Campuran asam
oleat dengan asam stearat dalam perbandingan yang teratur
2.
Campuran
setilalkohol dengan oleum amydalarum dalam perbandingan 17 : 83
3.
Oleum cacao
suntetis : coa buta, supositol.
Nilai tukar
Pada
pembuatan supositoria dengan cetakan, volume supositoria harus tetap, tetapi
bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan bobot jenis yang dapat diabaikan,
misalnya extr. Belladonna, garam alkaloid.
Nilai
tukar dimaksudkan untuk mengetahui bobot lemak coklat yang mempunyai volume
yang sama dengan 1 g obat. Nilai tukar lemak coklat untuk 1 g obat, yaitu ;
Acidum
boricum : 0,65 Aethylis
aminobenzoaz : 0,68
Garam alkaloid :
0,7 Aminophylinum : 0,86
Bismuthi subgallas : 0,37 Bismuthi
subnitras : 0,20
Ichtammolum :
0,72 Sulfonamidum : 0,60
Tanninum :
0,68 Zinci oxydum : 0,25
Untuk larutan, nilai tukarnya dianggap 1. Jika
supositoria mengandung obat atau zat padat yang banyak, pengisian pada cetakan
berkurang, dan jika dipenuhi dengan campuran massa, akan diperoleh jumlah obat
yang melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk membuat supositoria yang sesuai,
dapat dilakukan dengan cara menggunakan perhitungan nilai tukar seperti
berikut.
Contoh soal :
Berapa gram lemak coklat yang diperlukan untuk
membuat 20 Supositoria dengan bobot 3 gram yang mengandung aminofilin 0,5 g per
supositoria , jika diketahui nilai tukar lemak coklat untuk aminofilin = 0,86
Perhitungan :
Aminofilin yang diperlukan = 0,5 g x 20 = 10 g
Bobot 20 supositotria = 3 g x
20 = 60 g.
Nilai tukar aminofilin adalah = 10 g x 0,86 = 8,6 g.
Jadi, lemak coklat yang diperlukan= 60 g – 8,6 g
= 51,4 g
Supositoria
dengan bahan dasar PEG
1.
Mempunyai titik
lebur 35°-63°C.
2.
Tidak meleleh pada
suhu tubuh tetapi larut dalam cairan sekresi tubuh.
3.
Formula yang
dipakai :
·
Bahan dasar yang
tidak berair : PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96 % (75%)
·
Bahan dasar berair
: PEG 11540 30%, PEG 6000 50% dan aqua + obat 20%.
4. Keuntungan
:
·
Tidak mengiritasi
atau merangsang
·
Tidak ada
kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum cacao.
·
Tetap kontak
dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh.
5. Kerugian
:
·
Menarik cairan
dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga terjadi rasa yang menyengat.
Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam air sebelum
digunakan. Pada etiket, supositoria ini harus tertera petunjuk “ Basahi dengan
air sebelum digunakan”.
·
Dapat
memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan obat.
6. PEG
merupakan etilen glikol terpolimerasi dengan bobot molekul antara
300-6000.
7. PEG
sesuai untuk obat antiseptic. Jika diharapkan bekerja secara sistemik, lebih
baik menggunakan bentuk ionikdaripada nonionic agar diperoleh ketersediaan
hayati yang maksimum. Meskipun bentuk nonionic dapat dilepaskan dari bahan
dasar yang dapat bercamour dengan air seperti gelatin tergliserinasi atau PEG,
tetapi bentuk ini cenderung sangat lambat larut sehingga dapat menghambat
pelepasan obat.
8. Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan
melelehkan bahan dasar lalu dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan
supositoria dengan bahan dasar lemak coklat.
Supositoria
dengan bahan dasar gelatin
1.
Dapat digunakan
sebagai bahan dsar supositoria vaginal.
2.
Tidak melebur pada
suhu tubuh, tetapi melarut dapat cairan sekresi tubuh.
3.
Perlu penambahan
pengawet (nipagin) karena bahan dasar ini merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan bakteri.
4.
Penyimpanan harus
di tempat yang dingin.
5.
Bahan dasar ini
dapat juga digunakan untuk pembuatan supositoria uretra dengan formula :
gelatin 20, gliserin 60, dan aqua yang mengandung obat 20.
6.
Kebaikan :
Diharapkan
dapat memberikan efek yang cukuo lama, lebih lambat melunak, dan lebih mudah
bercampur dengan cairan tubuh dibandingkan dengan oleum cacao.
7.
Keburukan :
·
Cenderung menyerap
uap air karena sifat gliserin yang higroskopis yang dapat menyebabkan dehidrasi
atau iritasi jaringan.
·
Memerlukan tempat
untk melindungi dari udara lembab agar bentuk dan konsistensinya terjaga.
8.
Dalam Farmakope
Belanda terdapat formula supositoria dengan bahan dasar gelatin, yaitu :
Panaskan 2 bagian gelatin dengan 4 bagian air
dan 5 bagian gliserin sampai diperoleh massa yang homogeny. Tambahkan air panas
sampai diperoleh 11 bagian. Biarkan massa hingga cukup dingin dan tuangkan ke
dalam cetakan hingga diperoleh supositoria dengan bobot 4 g. Obat yang
ditambahkan dilarutkan atau digerus dengan sedikit air atau gliserin yang
tersisa dan dicampurkan pada massa yang sudah dingin.
Bahan
dasar lainnya
1.
Bersifat seperti
lemak yang larut dalam air atau bercampur dengan air, beberapa di antaranya
membentuk emulsi tipe A/M.
2.
Formulasinya :
Tween 61 85 % dan gliserin laurat 15%.
·
Bahan dasar ini
dapat menahan air/larutan berair.
·
Bobot supositoria
2,5 g.
METODE
PEMBUATAN SUPOSITORIA
Supositoria
dibuat dengan 3 metode : (1) mencetak hasil leburan, (2) kompresi
dan (3) digulung dan dibentuk dengan tangan.
1.
Pembuatan dengan
cara mencetak
Langkah-langkah metode pencetakan :
a.
Melebur basis,
b.
Mencampurkan bahan
obat yang diinginkan,
c.
Menuang hasil leburan
ke dalam cetakan,
d.
Membiarkan leburan
menjadi dingin dan mengental menjadi supositoria,dan
e.
Melepaskan
supositoria dengan basis yang cocok dibuat dengan cara mencetak.
Cetakan yang umum digunakan sekarang terbuat
dari stainless steel, aluminium, tembaga atau plastic. Cetakan yang
dipisah-pisah dalam sekat-sekat, umumnya dapat dibuka secara membujur untuk
membersihkan sebelum dan sesudah pembuatan satu batch supositoria, pada waktu
leburan dituangkan, cetakan ditutup dan harus dibuka lagi bila akan mengeluarkan
supositoria yang sudah dingin. Pelumasan cetakan juga diperlukan sebelum
supositoria dicetak, khususnya pada supositoria dengan basis oleum cacao atau
PEG. Lapisan tipis dari minyak mineral dioleskan dengan jari pada permukaan
cetakan, biasanya cukup sebagai suatu pelumasan. Untuk mencetak bacilli dapat
digunakan tabung gelas atau gulungan kertas. Unutuk mengatasi massa yang hilang
karena melekat apda cetakan, supositoria harus dibuat berlebih (±10%), dan
sebelum digunakan cetakan dibasahi dulu dengan paraffin cair atau minyak lemak.
Kalibrasi Cetakan. Penting bagi ahli farmasi untuk mengkalibrasi
setiap cetakan supositoria untuk basis yang biasanya digunakan supaya mereka
siap untuk membuat supositoria yang mengandung obat, untuk setiap jumlah obat
yang tepat ukurannya.
Langkah
pertama dalam kalibrasi cetakan, yaitu membuat dan mencetak supositoria dari
basis saja. Cetakan dikeluarkan dari cetakan rata-ratanya (bagi pemakaian basis
tertentu). Untuk menentukan volume cetakan supositoria tadi lalu dilebur dengan
hati-hati dalam gelas ukur dan volume leburan ini ditentukan untuk keseluruhan
dan rata-ratanya.
Pembuatan dengan cara kompresi. Supositoria dapat juga dibuat dengan menekan
massa yang terdiri dari campuran basis dengan bahan obatnya dalam cetakan
khusus memakai alat/mesin pembuatan supositoria. Dalam pembuatan dengan cara
kompresi dalam cetakan, basis supositoria dan bahan lainnya dalam formula
dicampur/diaduk dengan baik, pergeseran pada proses tersebut menjadikan
supositoria lembek seperti kentalnya pasta. Dalam pembuatan dengan skala kecil
digunakan alat mortar dan alunya, apabila mortar ini dipanaskan dalam air
hangat sebelum digunakan lalu dikeringkan, sangat membantu pembuatan basis dan
proses pencampuran. Dlam skala besar proses yang sama juga digunakan,
pengadukan adonan dilakukan secara mekanis dan menggunakan wadah pencampur
dipanaskan.
Proses kompresi khususnya cocok untuk
pembuatan supositoria yang mengandung bahan obat yang tidak tahan pemanasan dan
untuk supositoria yang mengandung sebagian besar bahan yang tidak dapat larut
dalam basis. Kompresi tidak memungkinkan bahan yang tidak dapat larut
mengendap. Kelemahan proses ini adalah bahwa dibutuhkan mesin khusus
supositoria dan ada beberapa keterbatasan seperti bentuk supositoria yang hanya
dapat dibuat dari cetakan yang ada saja.
Dalam pembuatan supositoria dengan
mesin kompresi, adonan supositoria dimasukkan ke dalam sebuah silinder yang
kemudian ditutup dan dengan cara menekan salah satu ujungnya secara mekanis
atau dengan memutarkan roda, maka adonan tadi terdorong ke luar pada ujung
lainnya dan masuk ke dalam celah-celah cetakan.
Pembuatan
Secara menggulung dan membentuk dengan tangan. Pembuatan supositoria ini
dilakukan saat basisnya adalah oleum cacao dengan skala kecil. Dengan
terdapatnya cetakan supositoria dalam barmacam-macam ukuran dan bentuk,
pengolahan supositoria dengan tangan oleh ahli farmasi sekarang sudah jarang
dilakukan. Namun demikian melinting dan membentuk supositoria dengan tangan
merupakan bagian dari seni.
Pengemasan dan penyimpanan supositoria
1.
Dikemas sedemikian
rupa sehingga tiap supositoria terpisah, tidak mudah hancur, atau meleleh.
Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin umumnya dikemas dalam
wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan kelembapan dalam isi
supositoria. Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya
dibungkus terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lainnya pada celah-celah
dalam kotak untuk mencegah terjadinya hubungan antarsupositoria tersebut dan
mencegah perekatan.
2.
Biasanya
dimasukkan dalam wadah dari alumunium foil atau strip plastik sebanyak 6 sampai
12 buah, untuk kemudian dikemas dalam dus.
3.
Harus disimpan
dalam wadah tertutup baik di tempat sejuk. Supositoria yang basisnya oleum
cacao harus disimpan di bawah 30°F, dan akan lebih baik bila disimpan dalam
lemari es. Supositoria dengan basis gliseri baik sekali disiman dibawah suhu
35°F. Supositoria dengan basis polietilen glikol mungkin dapat disimpan dalam
suhu ruangan biasa tanpa pendinginan.
Pemeriksaan
mutu supositoria
Setelah dicetak, dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut.
1.
Penetapan kadar
zat aktifnya dan disesuaikan dengan yang tertera pada etiketnya.
2.
Uji terhadap titik
leburnya, terutama jika menggunakan bahan dasar oleum cacao.
3.
Uji kerapuhan,
untuk menghindari kerapuhan selama pengangkutan.
4.
Uji waktu hancur,
untuk PEG 1000 15 menit , sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit.
5.
Uji homogenitas.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel,
Howard C.2005. Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi edisi keempat. Jakarta : Universitas Indonesia
Moh.
Anief. 2007. FARMASETIKA.Yogyakarta
: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS
Departemen
Kesehatan RI. 1979. Farmakope
Indonesia edisi III. Jakarta
Syamsuni.
2007. Ilmu Resep. Jakarta :
PENERBIT BUKU KEDOKTERAN.